Selasa, 28 Juni 2011

Sabar dengan Barang Antik



Penulis : Inno Jemabut

Udin (45) asyik bermain catur dengan rekannya, Zukri, Rabu (22/6) siang, di ujung Jl Surabaya-Menteng, Jakarta Pusat. Dua gelas kopi tergeletak di samping keduanya. Di sela-sela jemari tangan kiri Udin, asap rokok Dji Sam Soe masih mengepul setelah ia mengisapnya.

Sesekali ia mengangkat kepala, memerhatikan setiap pejalan kaki di trotoar apakah ada yang mampir di kios No 184 di ujung Jl Surabaya yang terletak di seberang jalan. “Lanjut!” begitu ucapannya yang sering terdengar setelah pengguna trotoar tak menengok ke dalam kiosnya.

Jelang pukul 15.00 mobil Kijang LGX 2000 berhenti persis di depan kiosnya. Udin bergegas dari bangku kayu tua, langsung menyapa pengendara mobil yang hanya menurunkan kaca sebelah kiri. “Pak, mau tanya, kalau ke Kantor Bappenas lewat mana?” kata seorang perempuan dari dalam mobil.

“Di depan itu lampu merah. Belok kanan, nanti ketemu taman. Bappenas ada di sebelah kiri jalan, setelah rumah dinas Wapres,” jawab Udin dangan tangan kanan nunjuk-nunjuk. Mungkin hati kecilnya sedikit kesal.

Dikira yang berhenti calon pembeli barang antik, ternyata hanya mau menanyakan alamat. Namun, wajahnya tampak tenang dan tetap ramah. Hal seperti itu sudah sering terjadi. Posisi kios di ujung tikungan memungkinkan banyak orang sering bertanya alamat.

Ia lalu mengambil sehelai kain, mengusap sebilah pedang panjang jualannya yang tanpa sarung. Pedang itu, menurutnya, buatan Rusia. Buktinya, pada ujung gagang terdapat tulisan MULScow. Pedang itu dipajang di antara sejumlah pedang lainnya, seperti pedang buatan suku Dayak (Kalimantan) dan berbagai daerah lain, serta sejumlah keris dari Jawa.

“Sambungin, ya!” teriak Udin meminta rekannya yang lain meneruskan permainan catur dengan Zukri. Tak lama kemudian ia menghampiri seorang calon pembeli di Kios 181. Entah apa rayuannya, calon pembeli itu lalu masuk ke kiosnya. Ditunjukkannya buaya dan musang yang terletak persis di atas kepala calon pembeli itu. Tak berapa lama pria berbadan tegap, wajah Eropa itu memboyong buaya kecil itu.

“Harus tekun emang, Pak. Itu tadi orang dari kedutaan. Nunggu dia datang aja, sampai habis berapa gelas kopi,” ujar Udin sambil tertawa lega. Sudah belasan tahun pria asal Padang, Sumatera Barat ini menjadi pedagang barang-barang antik di Jl Surabaya-Menteng.

Dalam kurun waktu itu, pasang surut penjualan sudah biasa terjadi. Pembeli tidak selalu ada tiap hari. Dalam sehari bisa tidak terjadi transaksi. Situasi yang sulit bagi orang yang baru mulai berdagang barang antik. Ia menuturkan, menjadi penjual barang antik butuh kesabaran. Jika suka mengeluh, lebih baik memilih pekerjaan lain. Barang antik memiliki segmen pasar tersendiri, dan menurut Udin, tidak terlalu besar.

Pembeli barang antik di Indonesia lebih banyak orang asing, turis dan pegawai dari berbagai kantor kedutaan di Tanah Air. Tidak banyak warga lokal yang suka mengoleksi benda-benda kuno. Kalaupun ada, kelasnya beda. Mereka akan membeli barang antik yang sudah berharga mahal.

Sebagai contoh, cukup sulit menemukan warga lokal yang suka mengumpulkan mata uang rupiah dalam bentuk koin dari pecahan paling kecil sejak Indonesia menggunakannya. Bahkan, pecahan terkecil seperti Rp 25 yang ada sekarang sekalipun, tidak banyak ditemukan di rumah warga.

“Orang tidak lihat sejarahnya. Karena nggak bisa dibawa ke tempat belanja, orang anggap nggak ada nilai tukarnya lagi. Nilai sejarahnya orang nggak pandang. Itu bedanya dengan orang luar,” tuturnya.

Barang-barang antik, sebagaimana dijual di Jl Surabaya-Menteng, memang banyak hasil peninggalan perkembangan kebudayaan pada suatu kurun waktu tertentu. Di pasar tradisional sepanjang 2 km sisi kiri jalan tersebut dijajakan barang-barang antik mulai dari sendok, piring, keramik, guci, wayang, patung pahatan, kamera kuno, hingga alat pemutar musik klasik yang usianya sudah di atas 50 tahun. Bahkan, beberapa bahan peninggalan penjajahan Belanda, seperti pedang, cangkir, topi serdadu Belanda dan Jepang juga tersedia.

“Tapi kita nggak bisa menjelaskan semuanya itu kepada pembeli, Pak! Pedang dengan gagang tanduk rusa ini katanya karena dulu orang Dayak suka berburu rusa,” ujar Amron, salah satu pedagang. Kesulitan menjelaskan spesifikasi itu, diakui Amron, menjadi bagian dari kesulitan menjual barang-barang antik di Jl Surabaya. Akibatnya, harga jual barang tak maksimal.

Umumnya kisaran harga mulai dari Rp 5.000 hingga belasan juta rupiah. Tak jarang harga dipatok apakah barang tersebut tampak lebih kusam atau tidak dan juga besar kecilnya. “Kalau yang bisa beli, dia tahu pasaran,” ujarnya. Atas dasar itu harga selalu bisa dinegosiasi.

Udin dan Amron mengaku sudah bisa hidup layak setelah menekuni usaha jualan barang antik selama belasan tahun di pasar yang sudah mulai ada tahun 1960-an itu. Pada 1973, pasar itu sudah diresmikan menjadi objek wisata utama Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

Namun, Amron memandang perubahan status itu tak banyak mengubah kehidupan pedagangnya. “Sekarang pemerintah lebih banyak urus PRJ. Karena banyak uangnya. Kalau kita malah bilang mau digusur. Aneh,” kata Amron.

Pemerintah DKI Jakarta memang pernah merencanakan untuk memindahkan pasar tradisional Jl Surabaya. Namun, 60 kios dari 184 kios yang ada di sana baru saja direnovasi dengan dana APBD 2007. Sabarlah, ya!

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/sabar-dengan-barang-antik/

Tidak ada komentar: