Informasi dan koleksi barang-barang antik yang mungkin bermanfaat bagi Anda. www.musiantik.blogspot.com 081368184211
Jumat, 01 September 2017
CIncin batu lavender Baturaja
Cincin batu biru langit Baturaja mungil dan indah
Jumat, 02 Juni 2017
Lebaran, Ketek pun Jadi Primadona
Sinar Harapan, Desember 2002
Lebaran, Ketek pun Jadi Primadona
Di Palembang, Sumatera Selatan, ada dua ketek
(kendaraan pengangkut penumpang, red). Satu di darat,
dan yang lain di sungai. Meski berbeda, karena yang
satu berupa kendaraan roda empat jenis jeep buatan
digerakan dengan mesin, keduanya memberikan jasa bagi
mereka yang tak punya ataupun tak memanfaatkan
kendaraan sendiri sebagai sarana transportasi.
Ketek ini, selama bulan puasa, pralebaran, dan
pascalebaran biasanya menjadi primadona. Meski, untuk
ketek darat (disebut mobil ketek) biasanya hanya
beroperasi di trayek pinggiran, trayek yang tidak
dilayani angkutan kota, namun karena jumlahnya memang
sudah sangat terbatas, seakan tak mampu mengangkut
penumpang.
“Yah, lumayan lah, untuk sekadar tambahan uang belanja
dan sisanya disimpan untuk perbaikan kalau mobil tua
ini ngadat,” ujar Sangkut, seorang pengemudi ketek di
kawasan 10 Ulu Palembang sembari menaiki jeep tuanya
yang ternyata sudah penuh penumpang.
Begitupun ketek sungai (biasa disebut perahu ketek),
juga banjir penumpang di tiga waktu tadi. Mereka
seakan jadi primadona. Meski, angkutan lainnya seperti
ojek dan angkot sebenarnya juga mendapat ‘serbuan’
penumpang yang lumayan membuat mereka kewalahan.
Paling tidak, itulah rezeki. Ditengah kondisi mobil
ketek yang kini kian terpinggirkan, ternyata ada masa
dan waktu bagi pengemudi dan pemilik kendaraan yang
populasinya tak sampai lagi angka 50 ini, untuk meraih
rezeki.
Angkot jadi Anggir
Di tahun 70-an, angkutan kota (angkot) andalan di Kota
Palembang masih berupa oplet yang dibuat khusus dan
disebut ketek. Mobil dengan bodi kayu yang dilapisi
seng produk karoseri tradisional. Mobil yang dijadikan
angkot ini adalah jeep wilis buatan Amerika. Beberapa
trayek di dalam kota pempek (sebutan untuk Palembang)
kini sejak 1980-an angkot-angkot ini pun mulai
tersisihkan.
Dengan masuknya kendaraan-kendaraan buatan Jepang,
ditambah kondisi jeep-jeep itu yang mungkin memang
sudah tidak layak pakai karena umumnya produksi tahun
1950 hingga 1960-an, berangsur-angsur angkot di
Palembang mulai berganti angkot yang dibuat dari
mobil-mobil produk negara yang sempat menjajah
Indonesia selama lebih kurang 3,5 tahun, Jepang.
Sejak saat itulah, ketek pun menjadi angkutan
pinggiran (anggir). Yaitu angkutan yang trayeknya
tidak terdaftar di instansi terkait. Sebut saja
misalnya anggir dengan rute Jl Sosial-Lebong Siareng
di Km 5, Lemabang-Sekojo, Pasar 7 Ulu-Plaju, Pasar 10
Ulu- 1 Ulu. Sampai akhirnya, di tahun 2001 tinggal 3
rute yang dilayani ketek.
Yaitu Jl Sosial-Lebong Siareng, Pasar 7 Ulu-Plaju, dan
Pasar 10 Ulu- 1 Ulu.Sementara untuk rute
Lemabang-Sekojo pun kini digantikan oleh mobil buatan
Jepang yang umunya berupa Kijang yang kondisi fisiknya
semestinya sudah tak layak lagi digunakan untuk
angkutan umum. Kendaraan-kendaraan ini, biasanya
disebut jambrong.
Populasi ketek ini untuk ketiga rute tidak begitu
banyak lagi. Paling-paling hanya 50 unit lagi. Kondisi
ketek yang masih operasional, memang semestinya tak
layak
Lagi. Namun demikian, untuk jarak dekat dengan
kecepatan yang tidak begitu dapat diandalkan lagi,
masih juga dibutuhkan. Apalagi, ongkos ketek, sedikit
lebih murah dibanding ongkos angkot. Kalau untuk
angkot dipatok Rp 1.000 sekali jalan jauh maupun
dekat, ketek hanya Rp 700.
Dengan kondisi ketek-ketek yang ada saat ini, kalau
dirawat dan dimodifikasi, semestinya diapun memang
bisa jadi barang antik. Mungkin bisa menjadi seperti
Filipina.
Namun agaknya pemilik jeep-jeep ini tak begitu
memperhatikan penampilan. Sehingga kehadiran mereka
sebagai sarana transportasi pun kian terpinggirkan.
Nasibnya kalau di ibukota Jakarta sama seperti yang
digambarkan Iwan Fals dalam salah satu lagunya, Oplet
Tua. Yang penggalan syairnya, “.... Hai oplet tua
dengan bapak sopir tua, barangmu kini sudah layak jadi
barang antik. Sainganmu, mikrolet, bajaj dan
biskota...... dan seterusnya.
Kondisi ketek-ketek yang masih operasional , umumnya
bisa dikatakan memprihatinkan. Meskipun umumnya
dilengkapi dengan stater sehingga tak perlu mengengkol
untuk menghidupkan mesin, namun fisik dan bannya
rasanya perlu mendapat perhatian. Dengan cat yang
biasanya tak karuan lagi warnanya, ada yang
mengelupas, ada yang ditimpa di sana sini. Lalu
bodinya pun, sebagian keropos di sana-sini. Meskipun,
memang ada juga yang pemiliknya rajin, agak begitu
enak dipandang baik cat maupun bodinya. Namun
demikian, untuk ban, umumnya menggunakan ban bekas
yang nyaris gundul.
Meski demikian, memang untuk angkutan pinggiran yang
jaraknya tak begitu jauh, masih bisa dijadikan
pilihan. Dan masyarakat pun tampaknya masih bersedia
memanfaatkannya. Entah mungkin karena hanya itu
angkutan yang ada ataupun alasan lain. Kini, saingan
ketek-ketek ini pun mulai bermunculan, yaitu ojek dan
becak yang juga mulai merambah daerah-daerah
pinggiran. Tapi, agaknya ketek tetap bisa dijadikan
alternatif.
Soalnya, ketek-ketek ini masih bisa dikatakan angkutan
yang aman. Kecepatannya pun, memang tidak begitu
maksimal. Paling banter sekitar 30 km/jam. Itupun,
sang sopir biasanya membawanya dengan hati-hati dan
tidak memaksa laju kendaraannya sampai batas
kemampuannya. Mengingat kondisi mesin jeep-jeep memang
dikondisikan cukup untuk bisa jalan.
Memang, kondisi jeep-jeep ini sebenarnya sudah tidak
layak jalan. Soalnya, selama ini sejak menjadi
angkutan pinggiran kendaraan-kendaraan ini tidak
pernah lagi diuji kelayakannya. Bahkan, pajak pun
sepertinya tidak ditagih lagi.
Dandan Sendiri
Untuk menjadi sopir ketek, dituntut memiliki kemampuan
lebih, selain bisa nyetir. Minimal bisa mendandani
(memperbaiki, pen) sendiri ketek yang dibawa kalau
tiba-tiba dia menjadi si jago mogok. Begitu juga
pemilik mobil yang biasanya merangkap sebagai sopir.
Soalnya, bakal susah sendiri kalau keteknya mogok
mesti ke bengkel.
Sementara untuk orderdil jeep-jeep ini, sebenarnya
masih ada di toko. Namun demikian, para pemilik ketek
lebih sering mencarinya di Pasar Cinde (pasar loakan
alias barang bekas). Karenanya bagi sopir atau
pemilik, soal onderdil tak begitu masalah. Misalnya
diakui Syamsul Heri yang membawa sendiri jeep miliknya
yang buatan tahun 1952. Ketek yang dicat warna biru
oleh ayah satu anak ini, warnanya cukup indah dan rapi
dibanding ketek lainnya. Meskipun, keropso di
sana-sini tteatp ada. Plus, jok yang dibalut bahan
bermacam-macam. Ibarat kain batik. Namun tetap empuk
diduduki.
Bagi Syamsul dan sopir-sopir lainnya, untuk onderdil
mereka biasanya mencari diloakan Cinde (pasar yang
menyediakan barang-barang bekas, red). Soalnya kalau
beli onderdil baru tidak setimpal dengan penghasilan
dan kondisi mobil.
Bahkan untuk ban pun, mereka cari yang bekas. Umumnya
bekas Taft ataupun Jimny. Dengan uang Rp 10.000 ban
luar sudah didapat. Lumayan, bisa bertahan sedikitnya
3-4 bulan.
Memang, setoran ketek ini dalam sehari yang biasanya
dioperasikan dari pukul 06.30 WIB sampai 18.00 WIB
berkisar antara Rp 10.000 sampai Rp 12.000.
Sedikitnya, dalam sehari, ketek ini bisa melayani 4
trip. Satu trip (bolak balik) kalau penuh bisa dapat
Rp 10.000. Ini dipotong Rp 1.500 untuk uang antre.
Sekali antre Rp 750. Kalau bolak-balik, dua kali
antre, mereka mengeluarkan Rp 1.500.
Dengan kondisi ini, dalam sehari, sopir bisa
mengumpulkan penghasilan kotor antara Rp 35.000 sampai
Rp 40.000. Dipotong minyak dan makan, mereka bisa
mengantongi uang Rp 20.000.
Dengan penumpang yang lumayan banyak dibanding
hari-hari biasa, selama puasa, pralebaran dan
pascalebaran, pendapatan sopir ketek meningkat
lumayan. Malah mencapai dua kali lipat bahkan ada yang
lebih dari itu.
Bagi yang membawa sendiri keteknya, tentu hasilnya
lebih besar. Tapi dengan kondisi mobil yang cukup tua
penghasilan itu tidak bisa memuat pemilik lega.
Soalnya, bisa-bisa mobil jalan dua hari, eh besoknya
mogok. “Makanya, sedikit-sedikit, saya mesti
menyisakan uang untuk persiapan perbaikan,” kata
Syamsul yang melayani rute Jl Sosial-Lebong Siareng
Km5 Palembang.
Lelaki asal Cirebon ini mengakui menggeluti profesinya
ejak 1990 lalu. Hasilnya, memang cukup untuk makan
saja. Tapi, baginya hanya itulah yang bisa
dilakukannya. Kalau tidak bagaimana istri dan anaknya
bisa makan.
Lain lagi dengan Zulkarnain, lelaki asal Sekayu, Musi
Banyasin, yang mengemudi ketek
sejak 1988. Lelaki dengan lima anak ini, setiap
harinya nyetor ke pimilik mobil, Yahya Rp 10.000. “
Kalau kotor, penghasilan saya terkadang mencapai Rp
30.000. Tapi itu belum termasuk untuk minyak,” aku
Zulkarnain sembari menyebut ongkos sekali jalan Rp 700
per penumpang. Tarif ini cukup murah dibandingkan
angkot yang mematok tarif Rp 1.000/penumpang.
“Sementara tahun 1988 saat saya pertama kali nyopir,
angkosnya Cuma Rp 100 dengan setoran Rp 3.000 sehari,”
lanjutnya yang sejak 1988 tidak membawa ketek terus
menerus, melainkan sempat gonta ganti profesi. Mulai
dari ngojek, nyopir truk, juga nyopir angkot. Namun
akhirnya kembali lagi membawa ketek.
Masih Cukup Tinggi
Harga ketek kalau dijual ternyata masih lumayan
tinggi. Bisa mencapai Rp 5 juta. Tapi, bagi pemilik
ketek, ternyata harga itu tidak menarik. Meskipun,
bisa mendapat motor bekas dengan kondisi lumayan dan
bia dijadikan ojek, kalau keteknya dilego. Soalnya,
kalau dijual, itu artinya sama dengan menjual mata
pencaharian.
Kalau dijual, usaha apa lagi. Mau ngojek, saingan saat
ini sudah sangat banyak. Selain itu, resikonya juga
lebih besar. Demikian diungkapkan Syamsul misalnya
yang mengaku masih betah dengan profesi yang
digelutinya.
Sehari-hari, Syamsul yang menjalankan keteknya untuk
rute Jl Sosial ke Lebong Siareng, keluar rumah sekitar
pukul 06.30 WIB. Pagi-pagi Syamsul keluar, belum
langsung mencari penumpang. Melainkan ikut antre dulu.
Baru nanti sekitar satu atau dua jam kemudian dia
mendapat giliran mengisi penumpang. Dalam sehari
setidaknya para pengemudi ketek ini bisa mengangkut
penumpang sebanyak empat rit. Daya angkut ketek ini 10
orang, delapan di belakang dan dua di samping sopir.
Namun selama bulan puasa, pralebaran danpasca lebaran,
sedikitnya para sopir ketek ini bisa mengangkut
penumpang sebanyak tujuh rit. Tanpa perlu ngetem
terlalu lama.
Zulkarnain yang ketika ditemui sekitar pukul 17.00
WIB, sudah menjalani rit ketujuh. “Sebentar lagi saya
pulang,” kata lelaki yang penampilannya sederhana,
sama dengan ketek yang dibawanya.
Terlihat, memang ketek yang dibawa Zulkarnain cukup
tua. Catnya sudah tak jelas lagi. Begitu juga dengan
dindingnya, keropos di sana-sini. Di bagian dalamnya,
kondisinya sama. Joknya memang cukup empuk. Tapi kulit
pembungkusnya terbuat dari bahan beraneka ragam. Baik
jenis maupun bahannya.
Dengan ongkos Rp 700 sekali jalan, penumpang memang
cukup diuntungkan bila dibandingkan naik ojek. Karena
itulah, para pengemudi ketek sepakat tidak menaikkan
ongkos seperti halnya angkot yang saat ini Rp 1.000
untuk sekali jalan. “Kalau kami ikut menaikkan ongkos,
bisa-bisa penumpang naik ojek, yang memang lebih cepat
karena tidak perlu ikut antre lagi,” katanya.
Saat ini, kondisi ketek-ketek yang ada memang serupa.
Seakan, mereka pasrah menerima kondisi. Tak ada yang
mungkin punya inisiatif menjadikannya kendaraannya
agak sedikit lebih menarik.
Namun demikian, mesinnya umumnya cukup tokcer. Sekali
start, mesinya langsung hidup. Kalaupun tak bisa
distart, biasanya sang sopir pun langsung mengelurkan
engkol. Lalu, dengan lincahnya mereka pun mengengkol
mesin mobil. Dan, werrrr, mesin menyala.
Melihat kondisi saat ini, bukan tidak mungkin, ketek
nasibnya akan semakin terpinggirkan. Atau malah
terhapus sama sekali. Mereka akhirnya tak kuat
menghadapi seleksi alam. Padahal, semestinya ketek ini
masih bisa dilestarikan. Minimal, untuk bernostalgia
ataupun dapat digunakan mengangkut wisawatan. Hanya
saja, untuk itu pemilik ataupun sopir ketek mungkin
mesti memoles fisik jeep-jeepnya sehingga terlihat
antik dan menarik.
Yang jelas, saat ini, minimal mobil ketek biasa jadi
pilihan bagi umat muslim untuk saling bersilaturahmi
dengan teman, keluarga, dan kerabat. Terutama di
trayek yang tidak dilayani angkot, ojeknya terbatas,
dan untuk menggunakan becak jaraknya cukup jauh.
(muhamad nasir)
Langganan:
Postingan (Atom)